Kamis, 04 November 2010

PelayananBerkumpul dan Saling Menguatkan

Sunarti (41) mengamati anaknya, Nova (2), yang berguling-guling di kasur di sebuah ruangan diklat provinsi di Jalan Setiabudi, Srondol, Semarang, Jawa Tengah. Meski usianya sudah dua tahun, Nova belum bisa berjalan. Namun anak perempuan itu sudah lancar berbicara, bahkan terkesan cerewet.
”Saya sedang berjuang menyeimbangkan tubuh dengan kepalanya,” kata Sunarti, warga Kota Magelang, Jawa Tengah. Nova yang mengalami hydrocephalus sudah dioperasi dua kali untuk memasang shunting. Pemasangan pertama menyebabkan infeksi sehingga harus diulang kembali. Agar tubuh dan kepalanya seimbang, Sunarti terus memberi gizi terbaik kepada Nova agar tubuhnya menjadi gemuk.
Nova adalah salah satu penderita hydrocephalus yang dioperasi oleh Wisma Kasih Bunda yang berlokasi di Jalan Sanggung Barat, Semarang. Wisma ini didirikan oleh perancang busana Anne Avantie. Sejak 10 tahun wisma ini didirikan sudah lebih dari 800 pasien mendapat pelayanan kesehatan secara cuma-cuma, termasuk operasi.
Untuk memberi pelayanan kesehatan, Wisma Kasih Bunda bekerja sama dengan RS Elizabeth Semarang. Pada perkembangannya, wisma ini tidak hanya melayani penderita hydrocephalus, tetapi juga menerima pasien penyakit lain yang membutuhkan bantuan.
”Mereka sudah datang ke wisma, saya tidak bisa memilih-milih mana yang harus ditolong dan mana yang tidak,” ungkap Anne. Pasien yang datang ke wisma bukan hanya dari daerah Jawa Tengah saja, tetapi juga dari luar Pulau Jawa, seperti Nias, Padang, dan Papua.
Selama ini Wisma Kasih Bunda menjadi tumpuan harapan bagi keluarga penderita hydrocephalus. Bukan hanya harapan untuk mendapat pelayanan kesehatan, tetapi juga sebagai tempat untuk berbagi rasa.
Setiap ada kesempatan, keluarga penderita hydrocephalus dan penderita penyakit lainnya ini berkumpul di wisma. ”Kita berkumpul untuk saling memberi penguatan,” kata Margaretha atau Eta, ibu wisma.
Penguatan itu yang membuat Sujiatmi (45) dari Gunung Kidul, Yogyakarta, mau bersusah payah datang ke wisma sambil menggendong Lanjar (5) yang kepalanya besar dan berbentuk segitiga itu. Sujiatmi mengaku sering terpuruk karena sampai sekarang masih banyak tetangganya yang menganggap kondisi Lanjar itu sebagai kutukan.
”Di sini (wisma), saya punya banyak teman dan mendapat pengetahuan tentang penyakit anak saya. Saya sekarang lebih percaya diri menghadapi orang,” kata Sujiatmi. (black_tim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar