Selain duduk di kursi roda, sekilas tidak ada yang berbeda dengan Gevin Hartono (17). Remaja ini tampak ceria, ramah, pandai bermain ”keyboard”, dan pintar berbahasa Inggris. Sebuah selang kecil tertanam di bagian belakang kepalanya.
Selang itu dipasang sejak Gevin berumur 40 hari setelah anak pertama dari pasangan Frangky Hartono (48) dan Liana Purwanegara (46) itu dilahirkan. Ketika hamil Gevin, dokter menemukan kelainan pada kandungan Liana yang sudah memasuki usia tujuh bulan.
Berdasarkan ultrasonografi (USG), dokter menyatakan bayi yang dikandung Liana mengalami ketidaksempurnaan dalam pembentukan ruas tulang belakang (spina bifida). Salah satu dampak dari kelainan itu, Gevin mengalami kelainan bawaan lainnya, yaitu hydrocephalus.
Kelainan ini menyebabkan cairan otak Gevin tidak bisa dibuang ke rongga perut. Pada kasus Gevin, saluran untuk membuang cairan otak itu juga tidak terbentuk. Akibatnya, kepala anak sulung Frangky ini terus membesar dan otaknya tertekan oleh cairan tadi.
Untuk membuang cairan otak, dokter memasang selang kecil (shunting) dari otak ke rongga perutnya. Menurut Frangky, seharusnya selang sudah harus dipasang 24 jam setelah bayi lahir. Namun, karena waktu itu ia kesulitan mendapat dokter yang tepat, selang baru dipasang setelah Gevin berumur 40 hari.
Otak Gevin sudah telanjur cedera akibat tekanan cairan otak. Namun, orangtua Gevin tidak menyerah. Setelah selang dipasang, Gevin yang mengalami kelumpuhan di tubuh bagian bawah terus dilatih orangtuanya.
Umur dua tahun Gevin sudah mengenal abjad dan pada usia tiga tahun ia mulai belajar bahasa Inggris. Gevin juga belajar main keyboard untuk melatih motorik halusnya.
Ayahnya memasukkan Gevin ke sekolah biasa sejak ia masih TK hingga sekarang sudah duduk di kelas II SMA sekolah swasta di Semarang, Jawa Tengah. Sejak 1998, keluarga Frangky pindah dari Jakarta ke Semarang. ”Untuk pelajaran yang memakai logika, seperti Matematika, Gevin mengeluh pusing. Namun, untuk pelajaran bahasa dan musik, dia senang sekali,” kata Frangky.
Serupa dengan Gevin, Stefanus Haryono (23) atau Yono yang tinggal di panti asuhan cacat ganda Bhakti Asih, Semarang, sudah bisa hidup mandiri meski ia mengalami hydrocephalus. Yono dibiayai panti asuhan untuk pemasangan selang ketika umurnya masih enam bulan.
Meski Yono tidak bisa sekolah biasa karena ia selalu pusing jika harus berkonsentrasi terlalu lama, pemuda itu memiliki banyak keterampilan, seperti membuat gantungan kunci, hiasan dari manik-manik, membuat pigura, dan kap lampu. Yono menjual hasil kerajinannya di acara-acara bazar atau kegiatan di panti-panti asuhan.
Segala usia
Teknologi shunting membuat hidup Gevin dan Yono yang mengalami hydrocephalus menjadi lebih berkualitas. Meski keduanya memiliki keterbatasan, Gevin dan Yono tetap bisa menjalani hidup normal hingga mereka dewasa.
Namun, banyak anak-anak hydrocephalus tidak seberuntung Gevin ataupun Yono. Tingginya biaya pemasangan shunting, yaitu sekitar Rp 7 juta sampai Rp 15 juta (termasuk biaya perawatan di rumah sakit), membuat anak-anak dari kalangan tidak mampu terlambat mendapatkan pertolongan. Tanpa shunting, cairan otak di kepala terus mendesak otak hingga menyebabkan kecacatan.
”Sebelum ada shunting, anak yang terlahir dengan hydrocephalus tidak memiliki harapan hidup karena sudah digugurkan sebelum ia lahir,” kata dr Mochammad Amanullah, dokter RS Elizabeth Semarang yang menjadi relawan pelayanan kasih hydrocephalus di Semarang.
Hydrocephalus memang kerap terjadi pada bayi, tetapi juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada anak-anak ataupun orang dewasa. Pada bayi penyebabnya, antara lain, karena kelainan bawaan; infeksi otak atau selaput yang disebabkan kuman toksoplasma, meningitis, atau tuberkulosis. Sedangkan pada anak-anak atau orang dewasa bisa disebabkan benturan, tumor, dan perdarahan otak.
Untuk memasang shunting, dokter harus lebih dulu memeriksa kondisi otak anak hydrocephalus. ”Kalau otaknya sudah kecil atau rusak, operasi pemasangan shunting sudah tidak ada gunanya lagi,” ungkap Amanullah. Sebaliknya, apabila otaknya belum rusak, anak hydrocephalus bisa tumbuh normal seperti anak lainnya.
Terkucil
Orangtua yang memiliki anak hydrocephalus memang mengalami tekanan sosial yang luar biasa dari lingkungannya. Mereka tidak hanya dicibir atau diolok-olok, tetapi terkadang juga dituduh pernah menjalani perilaku tidak pantas sehingga melahirkan anak-anak dengan kepala membesar.
Tri Handayani (33), warga Desa Krasak, Kabupaten Jepara, harus menahan pedih ketika anak-anak kecil di kampungnya ketakutan jika ia membawa Jibril Cesar Ramadhan (2), anak bungsunya yang mengalami hydrocephalus, keluar dari rumah. Jibril yang lingkar kepalanya sudah mencapai 110 sentimeter itu juga sering menjadi tontonan orang-orang dewasa jika ia sedang berada di luar rumah.
Mau tidak mau Tri memang harus membawa Jibril ke luar rumah. Pasalnya, sejak ia melahirkan Jibril, suami Tri tidak mau menafkahi dirinya dan anak bungsunya itu. Namun, sang suami masih mau membiayai Eva (8) dan Bintang (4), dua anak Tri lainnya. ”Saya terpaksa bekerja untuk memberi makan Jibril dan membelikan susu,” tutur Tri yang bekerja sebagai buruh kerajinan di Jepara.
Setiap hari Tri harus mengurus Jibril sendirian. Karena tidak bisa duduk, Jibril setiap hari digendong atau dibaringkan dengan bantal yang ditinggikan. Selain suaminya, Tri juga dikucilkan oleh keluarga besarnya dan juga keluarga suaminya. Ia bahkan pernah diusir mertuanya karena membawa Jibril ke rumah mertuanya.
Kini Tri hanya bisa pasrah. Jibril sudah tidak bisa dioperasi lagi karena otaknya sudah mengecil. Setiap pukul 02.00, Jibril selalu menangis atau terkadang kejang-kejang karena desakan cairan otaknya. Hanya obat pengurang rasa sakit yang bisa membuat Jibril tenang. (black-tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar